
Perdamaian Aceh bukanlah peristiwa sesaat yang jatuh dari langit, melainkan hasil dari proses panjang yang penuh pengorbanan. Nilai perdamaian ini ditebus dengan ribuan nyawa dan air mata selama puluhan tahun konflik bersenjata yang melelahkan. Karena itu, setiap kemunculan kembali simbol-simbol konflik lama harus dibaca dengan pikiran jernih, waspada, dan penuh tanggung jawab.
Kita tidak boleh naif dengan menganggap remeh fenomena yang terjadi belakangan ini, terutama dua dekade pasca-MoU Helsinki. Kita justru dihadapkan pada ironi sejarah di mana bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh dimanfaatkan untuk kepentingan sempit. Muncul gelagat pihak tertentu mengeksploitasi momentum duka ini untuk menghidupkan kembali narasi perlawanan dan panggung manuver politik.
Pengibaran bendera Bulan Bintang yang kembali mencuat secara demonstratif tidak bisa diperlakukan sekadar sebagai ekspresi budaya atau kebebasan berpendapat. Simbol ini tidak netral karena membawa muatan ideologis kuat dan memori kolektif tentang separatisme bersenjata di masa lalu. Membiarkan atau menormalisasi pengibaran simbol ini di ruang publik sama artinya dengan membuka ruang ambigu terhadap komitmen damai yang sudah kita bangun.









